Di waktu-waktu sorehari, aku suka sekali memandangi capung-capung selepas hujan. Getaran-getaran sayap mereka yang hampir tak terlihat seakan-akan mengajarkanku tentang kegembiraan. Mereka membentuk gerakan-gerakan yang mirip gelombang-gelombang kecil, gelombang-gelombang yang meliuk di atas semak belukar, rumput-rumput, dan ilalang, di saat buih-buih masih berjatuhan dan beterbangan. Seakan-akan mereka asik bercanda dengan hembus angin dan lembab cuaca. Sementara itu, di barisan pohon-pohon, masih terdengar kicau burung-burung yang menurutku merasa kedinginan, dingin yang meresap pada bulu-bulu mereka. Dan aku sendiri, ketika itu, duduk di bawah rimbun pepohonan bambu pinggir sungai kecil yang airnya mengaliri sawah-sawah. Anggaplah ketika itu aku memang sudah jatuh cinta pada kebisuan dan kesenduan alam, yang pada akhirnya menggambar dan melukis kesenduan hidup itu sendiri. Kebisuan dan kesenduan yang memberiku kedamaian yang aneh, kedamaian yang merupakan keheningan musim yang basah dengan gerak-gerak yang samar dalam pandangan kedua mataku sebagai seorang bocah yang hendak beranjak menjadi lelaki remaja. Tentulah di saat-saat seperti itu matahari sudah merasa terlambat untuk menampakkan diri, di saat malam datang lebih awal. Kesunyian-kesunyian seperti itu pada akhirnya sangat berpengaruh pada keadaan bathinku, keadaan bathin yang mudah tersulut oleh kondisi-kondisi yang mendorongku untuk mencipta dunia-dunia khayalan. Di saat-saat seperti itu, sudut-sudut langit dan pematang-pematang sawah lebih mirip figur-figur bisu. Dan aku sendiri, bila dilihat dari sudut pandang orang lain lagi, merupakan salah-satu figurnya. Aku telah bersatu, atau paling tidak, telah menjadi bagian dari mereka, turut mengambil bagian dalam keheningan itu sendiri. Konon, kecendrungan-kecendrungan seperti itu sebenarnya merupakan salah-satu bentuk keterasingan dan pelarian karena kecewa dan rasa tak puas, atau karena amarah yang terpendam, amarah yang menyamarkan dirinya untuk menggandrungi keindahan, kegilaan yang lembut. Dan kalau pun ya, aku takkan menganggapnya sebagai persoalan atau pun masalah yang perlu disikapi dengan serius, sebab jika benar, aku akan mengakuinya, aku akan menerimanya sebagai sesuatu yang mungkin saja malah akan memberikan kebaikan-kebaikan tak terduga padaku.
Dalam cuaca seperti itu sebenarnya aku tak hanya memandangi capung-capung yang kuumpamakan sebagai para peri mungil itu, sesekali kulihat juga kupu-kupu atau belalang-belalang yang meloncat-loncat dan yang terbang, sedangkan di malam harinya bila aku keluar dari rumah untuk memandangi bintang-bintang di langit, aku pun akan bertemu dengan kunang-kunang. Aku sangat mengagumi tubuh-tubuh mereka yang seperti lampu-lampu kecil yang bergerak dan beterbangan. Tetapi sekarang, di saat aku telah menjadi seorang lelaki dewasa, aku hampir tak pernah melihat kunang-kunang masa kanak dan masa remajaku itu. Kadang-kadang ada kerinduan dalam hati yang terasa sangat kuat sekali untuk bisa kembali melihat mereka, binatang-binatang ciptaan Tuhan yang menurutku termasuk dalam golongan binatang-binatang kecil paling indah, makhluk-makhluk yang sampai saat ini kugolongkan sebagai makhluk-makhluk keluarga para peri mungil bersama dengan kupu-kupu dan para capung.
Dan malam ini, bertahun-tahun setelah peristiwa itu, aku hanya bisa membayangkan tiga burung terbang dalam keheningan malam bersama alunan-alunan biola, membayangkan kembali capung-capung yang kini cuma kilasan-kilasan ingatan pengisi waktu-waktu senggangku. Kubayangkan diri ini memasuki sebuah dunia khayalan, di mana aku dapat menemukan keindahan-keindahan yang hanya ada dalam angan-anganku, meski dunia yang kumasuki itu terasa sunyi dan dingin, tak ada siapa-siapa kecuali diriku sendiri. Kubayangkan alunan-alunan senar seumpama maut yang sebenarnya selalu hadir dalam hidupku. Maut yang juga tidur ketika aku tidur, meminum air yang juga kuminum, dan memakan apa saja yang kumakan. Maut yang juga selalu menemaniku ke mana pun aku pergi dan berada. Maut yang juga menari mengikuti musik yang kudengarkan di tengah malam sembari menghirup kopiku dan menghisap batangan-batangan rokokku. Dengan itu semua aku pun semakin sadar betapa tipis sekali batas antara hidup dan kematian. Seakan-akan aku menari dengan kematian itu sendiri, memegang tangannya dan bergerak bersama-sama. Dalam dunia angan-angan yang indah tapi sepi itu, aku selalu bertemu dengan penjelmaan-penjelmaan diriku sendiri di setiap sudut dan tempatnya, penjelmaan-penjelmaan maut yang menyamar sebagai diriku. Maut yang bersemayam di mata dan di tubuhku. Meski demikian, dan bagaimana pun, aku sama sekali tak bermaksud membuat diriku merasa takut atau ngeri. Bukan! Bukan itu yang kumaksudkan. Aku hanya tengah membayangkan ketika aku menjadi begitu akrab dengan kematian yang tidak menakutkan, tetapi kematian yang terasa lembut dan menggairahkan. Kematian yang indah dan membius seperti kelembutan tangan-tangan gaib yang menyentuh sesuatu yang tersembunyi di dasar relung dadaku ini, yang menjelma musik di hatiku.
Kematian yang begitu akrab, mesra, dan menggairahkan itu bisa juga kuumpamakan seperti tangan-tangan yang setiap saat menggambar sepasang mataku ketika aku tidur, meresap pada rambutku, pada tubuhku, menciumi alis mataku yang berbaris rapi. Atau seperti sepasang tangan yang saling menggambar satu sama lain secara bersamaan. Atau seperti figur kanak-kanak yang bermain dengan bayangannya sendiri. Atau memang seperti bayang-bayang yang selalu bersamaku, di mana bayang-bayang itu merupakan cerminan dari takdir kita sendiri. Maut yang kubayangkan itu adalah maut yang juga membaca apa yang kubaca dan menulis apa yang kutulis. Maut yang telah bersatu dengan tubuhku sendiri. Begitulah, di malam-malam tertentu, bila aku merasakan kenyamanan dalam kesendirian dan keheningan, bila aku mendengarkan musik yang seakan-akan mengajakku menyelami dunia-dunia kebisuan yang gelap dan dingin, sebuah dunia yang di dalamnya tak ada apa-apa selain sunyi itu sendiri, dunia yang tak lain adalah kematian, kadang-kadang aku tergoda bila saja aku bisa tinggal di dalamnya meski untuk beberapa saat saja.
Demikian pula, di waktu-waktu tertentu, aku suka sekali berjalan-jalan sendirian ketika jalanan malam sebuah kota kecil di mana aku tinggal di salah-sudutnya mulai sepi. Aku memiliki ketertarikan yang aneh pada kelengangannya, pada dinding-dinding yang bisu dan diam di antara nyala-nyala lampu. Kubayangkan mereka juga tengah tertidur seperti orang-orang kantoran karena lelah selepas kerja seharian. Tetapi aku, aku yang bebas ini, bisa keluar dan berjalan-jalan kapan saja, tanpa ikatan dan aturan, aku bukan manusia sosial seperti orang-orang kebanyakan, aku selalu merasa sendirian bila aku tengah berjalan-jalan dan melangkahkan sepasang kakiku menyusuri trotoar atau pinggir-pinggir jalan. Kadang aku berhenti di sebuah warung yang menyediakan kopi hitam dan rokok. Jika sudah begitu, aku akan memesan kopi panas, duduk, dan lalu menyalakan rokokku. Seperti itulah aku membayangkan maut tak lain adalah diriku sendiri. Ikut melihat kelengangan yang kulihat, mendatangi sudut-sudut diam dan kebisuan yang kudatangi. Tetapi pada saat yang sama, aku melihat maut tengah berjalan-jalan sendirian di gang-gang antara rumah dan pertokoan sementara aku mengambil jalan dan tikungan yang berbeda. Di sana aku pun bertengkar dengannya, dengan diriku sendiri, berselisih paham ke mana aku akan pergi dan berkunjung di waktu-waktu malam. Pertengkaran yang akhirnya membuat kami berpisah untuk sementara sebelum akhirnya kembali padaku sesuai dengan keinginannya. Ia yang pada akhirnya bisa juga merasakan keraguan seperti halnya aku, jatuh cinta pada seorang perempuan yang juga kusukai. Berbincang dengan perempuan yang sama. Ikut mengunci pintu kamar di saat aku keluar dan ingin berjalan-jalan.
Sekarang aku ingin kembali kepada ingatanku pada capung-capung sorehariku, capung-capung yang kini kubayangkan sebagai gambaran kematian, yang baru kusadari saat ini, di mana getaran-getaran sayap-sayap mereka yang tipis itu adalah kiasan dari kematian yang menyamar sebagai keindahan dan kelembutan. Mereka adalah maut yang bermain-main itu sendiri. Aku akan menyebut capung-capung itu sebagai peri-peri kecil yang tengah mencandai kematian, sosok kematian yang memang tidak terlihat oleh mata telanjang dan hanya bisa dipahami oleh keintiman bathin kita. Seperti itulah, entah ini sebentuk kegilaan yang lembut ataukah bukan, aku seringkali berkhayal bahwa kematianku akan datang dari masa silam yang telah kuceritakan itu. Kematian yang pernah datang bersama kupu-kupu, para capung, dan kunang-kunang masa kanak dan masa remajaku itu. Bahwa jika kelak kematian akan datang menjemputku, aku akan bergabung bersama mereka dalam dunia yang dipenuhi dengan kedamaian dan keindahan. Aku membayangkan bahwa aku akan menjadi salah-satu dari mereka. Bahwa aku akan menjadi kecil dan memiliki sayap di kedua sisi punggung dan pundakku, yang dengan itu aku akan bebas bepergian bersama angin atau bermain-main dengan pergantian-pergantian musim. Aku akan menembus kegelapan-kegelapan malam dan bisa mendengar gumam-gumam kesedihan manusia yang hanya bisa berdoa dalam hati mereka. Atau aku akan mengagumi bocah-bocah yang merupakan perlambang keluguan dan ketulusan hidup. Aku membayangkan kematianku akan mewujudkan khayalan-khayalan kekanak-kanakkanku yang terpendam dan yang tertunda sebagai seorang lelaki dewasa. Betapa indah dan menyenangkannya gagasan dan angan-angan seperti itu. Kadang-kadang tanpa terasa aku menitikkan airmata dalam kesendirian bila sudah membayangkan dan mengkhayalkan itu semua. Kerinduan dan mimpi-mimpi purba seorang lelaki yang terobsesi dengan fantasi-fantasi keindahan demi menghibur dan membahagiakan hatinya yang rapuh dan terpecah.
Malam ini, musik yang kudengarkan tanpa kusadari telah membawa dan menyandera pikiran dan angan-anganku bebas berkelana ke dunia-dunia khayalan yang kuinginkan dan yang kubayangkan. Musik yang membuatku berangan-angan tentang kematian yang kuharapkan dan yang kuinginkan, membawaku ke ingatan-ingatan sendu masa kanak dan masa remajaku di sejumlah senja dan hujan di antara pepohonan dan bentangan-bentangan kebisuan, di antara sudut-sudut langit yang seumpama figur-figur samar sebuah lukisan, figur-figur ingatan itu sendiri, figur-figur yang menyusun sketsa-sketsaku tentang seperti apa kematian yang kugambar.
(Sulaiman Djaya)
Selasa, 14 September 2010
Senin, 13 September 2010
Prelude for Notebook
Aku percaya setiap orang memiliki hasrat untuk mencari atau pun berusaha untuk menemukan apa saja yang dapat membuatnya merasa utuh dan berarti, entah apa pun itu, sesuatu yang mungkin membuatnya merasa lengkap, katakanlah sebagai contohnya menjadi seorang suami bila ia seorang lelaki atau pun menjadi seorang istri bila ia perempuan, yang dapat menemukan sendiri arti kebahagiaannya, yang mampu mengatasi kekeliruan atau pun ketaksepahaman yang acapkali berujung pada pertengkaran, atau katakanlah menjadi seorang jutawan yang dapat menggunakan waktu seenaknya untuk membaca buku-buku yang disukainya atau melakukan apa saja yang diinginkannya. Artinya, yang tengah ingin kubicarakan ini adalah hasrat setiap orang untuk menjadi apa pun yang dapat membuatnya merasakan hidup yang sesungguhnya dan menjadi seseorang, menjadi seseorang yang mampu mendapatkan kebahagiaannya sendiri dengan segala apa yang dilakukan dan dijalaninya.
Tetapi apakah aku telah mendapatkan dan menemukan apa yang kubicarakan itu? Sejujurnya aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku selalu mencoba dan berusaha untuk mendapatkan dan menemukannya, terlebih sebagai seorang yang senantiasa dirundung gelisah dalam kesendirianku. Begitulah aku, seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan, seorang lelaki yang tengah dan terus mencoba untuk menjadi penulis di saat tak memiliki kesibukan lain. Meskipun demikian, ada satu hal yang setidak-tidaknya dapat meredakan kegelisahanku untuk waktu-waktu sementara, seperti ketika aku memandangi pohon-pohon yang kutanam terlihat segar dan rindang. Itu karena semua aku berpikir dan merenunginya, bahwa kesegaran dan keindahan pohon-pohon yang telah kutanam itu haruslah kuumpamakan sebagai keriangan dan kegembiraan hidup itu sendiri dalam kondisi apa pun, apa pun yang kini tengah kujalani dan kualami.
Mungkin saja itu semua pun lebih merupakan upaya-upayaku untuk menciptakan penghiburan dan harapan. Dan kalau pun itu benar adanya, aku takkan mengingkarinya, karena sebenarnya mestilah kuakui, keseharianku di pedesaan ini merupakan pelarian diri, meskipun di sisi lain haruslah kuakui juga, keseharianku di pedesaan ini telah berjasa bagi kehidupan bathinku karena ketenangan dan kesunyiannya, belum lagi malam-malamnya yang telah memberiku keheningan dan kedamaian di saat-saat aku menulis atau pun membaca.
Memang hari tampak mendung dan terasa lembab saat aku menuliskan memoarku ini, tapi justru hal itulah yang membuatku merasa nyaman, merasakan ketenangan setelah di waktu malam kegelisahan dan kegundahan menguasaiku selama berjam-jam. Bulan Juni kali ini terasa berbeda dengan Juni-Juni sebelumnya. Dalam perasaanku bulan Juni kali ini lebih mirip bulan Januari dan Februari, November dan Desember, terasa hening dan senyap. Dan sebelum aku terbangun di pagi ini, selama semalaman aku hanya terdiam di kursiku sembari mendengarkan alunan-alunan violin dan denting-denting piano dari beberapa komposisi yang kusuka. Hal itu kulakukan setiap kali aku ingin mendapatkan kiasan dan suasana untuk puisi yang akan kutulis di waktu-waktu malam atau pun di pagihari dan sorehari.
Demikianlah aku menjelmakan kesunyianku sendiri dalam komposisi kata-kata dan paragraf, menyalinnya dan meminjamnya untuk sementara, sebelum aku menemukan suasana-suasana yang lainnya, sebelum aku menemukan alibi-alibi, kebohongan-kebohongan yang berbeda, yang mungkin juga sama saja, melakukan pengulangan-pengulangan, sebab betapa rentan dan rapuh seorang lelaki yang kadang merasa diri sabar dan tegar menjalani kesepian dan kesendirian. Yah, aku tengah mengenakan topeng ketika aku terus menulis, terus-menerus mengenakan topeng demi memenuhi apa yang tak bisa kudapatkan dalam kehidupan yang sebenarnya, dalam keseharian yang biasa seperti yang dijalani dan dilakukan kebanyakan orang yang terbebas dari pretensi dan tendensi estetis. Dengan ini aku hanya ingin mengatakan bahwa hasrat pada keindahan adalah upaya untuk mengobati diri sendiri. Sejumlah ikhtiar untuk mengatasi atau pun mengalihkan kesepian.
Juga keputusanku untuk menuliskan memoar ini sekalipun akan dicurigai sebagai tindakan narsistik atau pun solipsistik tetaplah akan kupahami sebagai bentuk lain upayaku untuk bercerita, meskipun aku takkan pernah bisa menghindari tendensi otobiografisnya. Apa yang akan kusebut sebagai kerja penulisan historiografi angan-angan.
(Sulaiman Djaya)
Selasa, 07 September 2010
The Time of Memoar
Aku tidak tahu, atau lebih tepatnya tak lagi ingat, apakah masa kanak-kanakku bahagia ataukah kesepian. Aku hanya ingat bahwa dulu aku pernah akrab dengan samar kepakan, dengan grafik-grafik warna dan cahaya senjahari. Aku hanya ingat bahwa aku pernah merasa damai ketika memandangi gerak-gerak dan gelombang keheningan setiap kali aku asik membayangkan diri bergembira bersama mereka. Bersama para belalang yang adakalanya berjingkat-jingkatan di rumputan dan pematang. Serasa jiwaku kembali menjadi seorang bocah bila aku mengingat-ingat itu semua. Wajar saja bila Protagoras, si filsuf Yunani itu, pernah mengatakan bahwa keabadian dan ingatan adalah milik kanak-kanak. Kata-kata Protagoras itu tiba-tiba kupercayai begitu saja ketika aku memikirkan dan merenungkannya.
Di masa-masa itu aku tak perlu malu untuk menangis. Dan sekarang, ketika aku mulai mengenal buku-buku, di saat aku telah berusia dua puluhan tahun, menurut para penyair sufi, airmata dan kesedihan dapat membuat dua mata seseorang menjadi sendu dan bening, dan dua mata yang bening itu akan juga mencerminkan keindahan, kelembutan, dan kepekaan hati dan jiwa seseorang. Tetapi luka dan kesedihan yang berlebihan hanya akan menumbuhkan kegilaan, kekejaman, dan ketakutan. Karena itulah seseorang hanya boleh bersedih seperlunya dan mestilah bergembira dengan sikap yang wajar.
Aku hanya ingat bahwa aku pernah akrab dengan lumpur, dengan keharuman pagihari. Sungguh pun hal itu merupakan sentimen romantik, aku takkan mengingkarinya, aku takkan mengingkari sebuah kerinduan akan muasal dan masa silam, ketika kesepianku terlampau curam, seolah ngarai-ngarai malam yang senantiasa bimbang, demi untuk memahami dan menemukan apa yang mesti kulakukan. Aku, seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan ini, terlampau tergoda untuk menyelami ingatannya akan masa silam, yang tak ubahnya alunan-alunan biola yang kudengarkan di tengah malam. Ketika kesamarannya justru membuat ingatan semakin tekun untuk menjadikannya demikian jelas.
Ingatan-ingatan akan masa kanak-kanak itulah yang membuatku tegar dalam kesunyian, dalam kerapuhan. Ingatan yang mengembalikanku pada sebaris pepohonan rindang sepanjang jalan yang mirip terowongan kota-kota metropolitan yang kukenal sekarang, sepanjang aku berjalan kaki dalam sendirian di bawah naungan senjahari, sembari sesekali memandangi burung-burung kuntul yang beterbangan, dan yang sebagian dari mereka sibuk mencucukkan paruh-paruh mereka pada air dan lumpur rawa-rawa. Dengan demikian, aku pun dapat mengatakan bahwa keindahan memanglah milik ingatan, justru ketika aku telah tak ada di dalamnya, di saat aku telah berjarak dan berpisah dengannya.
Sementara itu, dan ini mungkin benar atau mungkin juga keliru, apa yang membuatku bisa juga bertahan hidup dan menjalani keseharianku yang minim fasilitas di pedesaan ini karena rahim-rahim keheningan pedesaan-lah yang mengendapkan benih-benih kegundahan dan kegelisahanku ketika hidup di kota selama bertahun-tahun. Di pedesaan inilah aku memiliki waktu yang leluasa untuk merenung dan menulis. Di pedesaan-lah aku justru bisa mendengarkan dan merenungi musik-musik keheningan yang berbisik lembut, tidak seperti di kota yang hanya selalu menghadirkan desing dan bising ke mana pun aku berada dan menginjakkan kakiku bila keluar kamar.
Di masa kanak-kanaklah kita menjalani kebebasan yang sebenarnya. Kita melakukan begitu saja apa yang ingin kita lakukan, sebagaimana kita pun tak malu menangis, sebab pada akhirnya kita akan segera bergembira setelahnya. Bukankah bila kita tidak menangis justru kita akan senantiasa bersedih dan selalu menyesal dan tak bisa memaafkan diri sendiri. Karena itulah kita tak memiliki hak untuk menahan diri dengan sekuat tenaga untuk tidak menangis ketika kita ingin menangis. Dengan menangislah akan datang kegembiraan, tangisan adalah air pemandian bagi hati dan jiwa kita, begitulah yang dipercayai oleh para penyair sufi yang kubaca. Memang selain membaca buku-buku filsafat, aku pun jadi tertarik untuk membaca sajak-sajak dan prosanya Nizami dan Abdurrahman Jami, yang sebenarnya bisa dibilang sederhana ketika berbicara tentang hidup dan penderitaan. Tapi tokh justru karena itu aku bisa langsung dengan cepat menyerap dan memahaminya.
Aku hanya ingat bahwa aku pernah akrab dengan hujan, menyambut kedatangannya, dan berlarian bersamanya di pematang-pematang sawah dalam keadaan telanjang bersama teman-temanku. Ketika itu aku tak merasa takut dengan kilat dan guntur yang menyala dan berdentum. Aku dan teman-temanku hanya tahu berlari dan mengejar para belalang yang tak lagi bisa terbang dengan tangkas dan cepat. Kami akan meminta ibu kami untuk menggorengnya bila kami telah merasa cukup dan kelelahan sebelum adzan magrib berkumandang, sebab setelah sembahyang magrib kami harus belajar mengaji al Qur’an kepada ustadz kami yang cukup keras dan galak, hingga tak pernah lupa barang semalaman pun untuk tidak memegang sebatang lidi dengan tangan kanannya. Untungnya aku bisa dengan cepat membaca setiap paragraf al Qur’an atau pun mengulangi apa yang dibacakan ustadz kami, karena selama dua tahun sebelumnya ibuku sendirilah yang mengajariku membaca al Qur’an, yang menolongku agar tidak terkena lecutan keras atau ringan dari ustadz kami, seperti yang dialami sebagian teman-temanku.
Yah, kami dididik dalam kepatuhan, dalam ajaran-ajaran keagamaan dan keimanan yang ketat, yang tak memberi kesempatan kepada kami untuk bertanya. Kami hanya tahu bahwa kami harus tepat dan tidak boleh melakukan kesalahan ketika belajar membaca al Qur’an, sebab al Qur’an bagi orang-orang di tempatku adalah segalanya, yang tidak boleh satu ayat atau paragraf pun untuk diragukan, kami hanya harus mempercayainya. Dan sekarang, ketika keberadaanku di tanah kelahiranku ini sudah berjalan satu tahun sejak aku meninggalkan Jakarta, aku tergoda untuk merenungkan dan mengingat-ingat itu semua. Aku harus menuliskannya pada halaman-halaman catatan harianku, tekadku, sekedar untuk mengisi waktu-waktu luangku di saat tak ada kesibukan lain yang bisa kulakukan.
The Rain of July
“Pintu-pintu tahun terbuka, seperti pintu-pintu bahasa, menuju yang tak dikenal. Semalam kau bilang padaku: esok kita akan kembali menemukan isyarat-isyarat, kembali menggambar pemandangan di halaman ganda, hari dan kertas. Esok, kita akan kembali menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini” (Octavio Paz).
Bulan Juli tahun ini selalu dirundung mendung dan kabut, di mana hening seakan waktu yang bertudung kerudung. Kuarahkan dua mataku menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang kulihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahku melalui pintu yang memang sengaja kubuka setelah kunyalakan selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari. Tanpa sengaja, aku pun melihat sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum aku duduk di kursiku, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkanku pada masa kanak-kanak, ketika aku kembali membuka dan menatapi lembar-lembar di mana aku akan menulis bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang kudengarkan. Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu kuandaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.
Bulan Juli tahun ini selalu dirundung mendung dan kabut, di mana hening seakan waktu yang bertudung kerudung. Kuarahkan dua mataku menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang kulihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahku melalui pintu yang memang sengaja kubuka setelah kunyalakan selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari. Tanpa sengaja, aku pun melihat sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum aku duduk di kursiku, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkanku pada masa kanak-kanak, ketika aku kembali membuka dan menatapi lembar-lembar di mana aku akan menulis bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang kudengarkan. Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu kuandaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.
Tanpa kukehendaki, keindahan menjelmakan dirinya sebagai kebisuan dan hening cuaca yang membasahi pepohonan dan tiang-tiang lampu sepanjang jalan. Waktu pun lelap bersama mimpi-mimpinya di antara buih-buih dan kabut yang kupandangi sembari bersandar pada punggung kursi di mana aku duduk dalam kesendirian, terasa sendu dan agak murung, yang membuatku membayangkan diri sebagai seorang lelaki yang tengah merasakan cinta menggebu untuk yang kesekian kalinya, yang membuatku tergesa dan tak lagi bisa menahan godaan yang teramat bergelora untuk bercumbu dengan seorang perempuan yang kusukai setelah melewati sekian pertemuan dan keakraban yang menggairahkan.
Sampai hari di mana aku kembali terjaga dalam sepi ini, sudah empat hari hujan datang berturut-turut, sampai-sampai semua yang diciuminya dengan lembut ataupun tergesa seakan jadi beku dan lelap dalam pandangan kedua mataku, meski dedaunan kadang-kadang bergerak pelan di saat angin menghembus, seolah-olah ada tangan-tangan gaib para malaikat yang tengah mencandai mereka. Seperti itulah aku membayangkan bila seorang lelaki kembali jatuh cinta setelah putus asa selama beberapa tahun yang gundah dan gelisah. Ia akan memahaminya sebagai kelembutan sekaligus ketergesaan yang memberinya rasa damai. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja menghampiri relung-relung perasaan.
Tetapi, walau bagaimana pun, tetap saja aku bertanya: apakah perasaan-perasaan itu dapat kunamakan sebagai kebahagiaan? Mungkin saja. Sebab apa yang bisa kulakukan pun cuma menerka-nerka pengalaman-pengalaman yang masih kuingat. Seperti ketika aku duduk dengan canggung bersamanya di sebuah sudut dekat pintu masuk di Bintaro Plaza delapan tahun yang silam itu. Lalu kemudian, haruslah juga kuakui bahwa musik-musik yang senantiasa kudengarkan setidak-tidaknya telah menyelamatkanku dari keputusasaan, meskipun mungkin saja aku malah berada dalam sebentuk kegilaan yang tak kusadari. Kubiarkan kesepianku berkelana dan mengembara bersama denting-denting piano dan alunan-alunan biola. Kujalani malam-malamku dengan membaca puisi-puisi romantis dan meditatif yang kusukai, di mana di waktu-waktu senggangku yang sepi dan sentimentil kutulis puisiku sendiri dengan sabar dan hati-hati, adakalanya tergesa dan ingin lekas kuselesaikan.
Bila sudah mengenang kembali bagaimana aku mengajaknya dengan rasa percaya diri sekaligus agak sedikit tolol ketika itu, rasa-rasanya aku sendiri tak percaya bahwa aku telah melakukannya. Spontanitas yang mungkin demi menutupi kecanggunganku sendiri karena pesona yang terpancar dari kelembutan wajahnya dan keteduhan pandangan matanya yang redup sekaligus tampak menyala bagi dua mataku. Caranya berbicara dan menatapku dengan agak nakal dan sendu membuatku menjadi seorang lelaki yang seketika menemukan apa yang mesti kucari dalam hidup: gairah kehangatan dari getaran-getaran tubuh dan jiwa. Aku pun berusaha membayangkan gugusan rambutnya yang bersembunyi dibalik kerudung hijau yang dikenakannya saat itu.
Di pojok Bintaro Plaza itu kami menghabiskan waktu bersamanya selama dua jam. Waktu yang entah kenapa terasa singkat hingga terdengar kumandang adzan dari arah yang cukup jauh. Ia sendiri yang memutuskan untuk menyudahi perbincangan dan canda kami, sebab ia merasa letih setelah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta. Sebelum kami memutuskan pergi ke Bintaro Plaza itu, kami sempat makan bersama di sebuah rumah makan yang berdekatan dengan kampus Universitas Islam Negeri Jakarta. Di malam setelah kami berbincang bersama di sudut Bintaro Plaza itu, aku mengantarkannya ke kosan temanku, seorang mahasiswi yang kebetulan satu jurusan. Mahasiswi itu adalah kakak tingkatku yang juga telah berteman dengan dirinya. Tetapi waktu jualah yang pada akhirnya mengambil alih kenangan dan ingatan tersebut. Jika pun aku menuliskannya, tentu tak lebih sebuah upaya untuk melakukan pengobatan pada diri sendiri. Sebab yang kini kucintai tak lain kenangan dan ingatan itu sendiri. Kenangan dan ingatan yang juga telah mengajarkanku untuk menulis dan melupakan, atau lebih tepatnya mengajarkanku untuk memaafkan masa silam.
Aneh juga rasanya, ingatan-ingatanku selalu tersulut oleh suara-suara dari puisi-puisi yang kubaca, ketika beberapa puisi yang kubaca justru mengingatkanku pada pengalaman dan kenanganku sendiri, meski tentu saja puisi-puisi tersebut tak mesti persis menyuarakan sesuatu yang sama dengan apa yang kualami dan yang kuingat. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa kesengajaan, ketika kubuka lembar-lembar koleksi buku-buku puisi-puisi dari ragam penyair yang dipublikasikan oleh penerbit-penerbit semisal Penguin Books, Everyman Books, dan yang lainnya. Seperti itulah, kali ini aku menulis setelah kubaca puisi-puisi yang ditulis oleh Octavio Paz, di mana bait-bait dan suara-suaranya mampu menyulut erudisi dan ingatanku sendiri. “Seperti sebuah sungai yang tenang, siang dan malam saling membelai, seakan lelaki dan perempuan dimabuk cinta, sementara musim-musim dan seluruh manusia mengalir di bawah lengkung-lengkung abad, menyerupai sebuah sungai tanpa akhir”. Aku suka sekali dengan suara-suara yang dibisikkan oleh bait-bait puisinya Octavio Paz tersebut ketika menggambarkan hidup, ingatan, waktu, dan mungkin kematian yang digambarkan seperti sebuah ketenangan sungai yang sebenarnya tak pernah mampu kita terka dan kita selami dengan persis dan tepat dalam hening dan kebisuannya.
Ada kesenangan tersendiri ketika aku kembali mereka-reka pengalaman persahabatanku dengannya. Pengalaman-pengalaman yang memberiku kebahagiaan seorang mahasiswa yang kembali memiliki hasrat pada seorang perempuan setelah masa-masa sekolah menengah. Di hari itu ia menelponku perihal kedatangannya ke Jakarta. Dan keesokan harinya kedatangannya di Jakarta sesuai dengan apa yang dikatakannya, ia datang ke Jakarta selepas dzuhur. Aku menjemputnya di terminal kereta Gambir. Hanya beberapa menit saja aku langsung melihatnya berjalan ke arahku setelah turun dari kereta eksekutif itu. Ia langsung tersenyum lirih ketika berada persis di hadapanku, dan aku segera saja mengajaknya berjalan ke sebuah warung serba ada di mana kami membeli minuman sebelum kami menaiki bus yang akan membawa kami ke Ciputat.
Semenjak pertemuanku dengannya itulah aku mulai menyukai novel-novel sentimentil dan puisi-puisi romantis. Bahkan sejak saat itu aku mulai serius belajar menulis puisi-puisi cintaku sendiri setelah membaca puisi-puisi yang kusukai yang ditulis oleh penulis-penulis Indonesia atau para penulis asing yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tapi sekarang, aku mulai bisa menyukai perempuan lain dengan serius, sejauh menyangkut apa yang kurasakan saat ini. Aku bisa belajar dari kenangan untuk bisa menjadikannya sebagai pembimbing agar aku bisa juga bersikap rasional dan realistis dengan apa yang akan kualami dan apa yang akan kurasakan.
Tak pernah terpikir olehku bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang ternyata mengajarkanku untuk menulis puisi dengan setia di kemudian hari, bahkan hingga sampai saat ini. Dengan kata lain, aku mesti menjadi pecundang sebelum aku mampu mencintai dan menyukai perempuan lain selain dirinya. Aku diingatkan oleh pengalaman-pengalaman itu bahwa aku hanya berhak untuk menjalani dan mengalami apa yang kini kulakukan dan kuniatkan dalam hidup, tanpa harus memutuskan akan ke mana langkah-langkahku berhenti atau menghendaki dirinya berakhir tanpa mesti menyesalinya. Dengan begitupun, aku bisa menghayati setiap novel yang kubaca. Madame Bovary-nya Gustave Flaubert, Love in the Time of Cholera-nya Gabriel Garcia Marquez, Cintaku di Kampus Biru-nya Ashadi Siregar, Crime and Punishment-nya Dostoyevsky, Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Snow-nya Orhan Pamuk, Samarkand-nya Amin Maalouf, Burung-burung Manyar-nya Mangunwijaya, Bumi Manusia-nya Pramudya Ananta Toer, dan novel-novel lainnya yang terlalu panjang bila harus kuabsen satu persatu. Aku membaca novel-novel itu seakan-akan untuk memberikan sejumlah perbandingan bagi pengalaman-pengalamanku sendiri, kenangan-kenangan dan ingatan-ingatanku di waktu-waktu aku duduk di dalam kamar bertemankan komposisi-komposisi musik.
Meski pengalaman-pengalaman yang sudah berlalu delapan tahun silam itu seolah baru terjadi berbulan-bulan yang lalu, aku berhasil juga memperlakukannya hanya sebagai hiburan bagi kesepian dan kesendirianku sendiri. Tak lebih dari itu. Sebab aku harus melanjutkan hidupku dengan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang baru, yang mungkin lebih bergairah dari sebelum-sebelumnya. Persis seperti bait-bait puisinya Octavio Paz yang kusukai, yang kubaca sebelum menulis catatan harianku untuk yang kesekian kalinya: “Esok, kita akan kembali menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini” (Sulaiman Djaya 2010)
Me and My Love Story
Sesekali saya tertawa sendiri bila kembali mengingat apa yang telah saya lakukan, betapa seorang lelaki yang hari-hari dan malam-malamnya akrab dengan buku-buku yang dibacanya tiba-tiba menjadi kikuk dan bodoh ketika hidup dalam dunia yang sebenarnya. Saya hanya bisa tersenyum dalam kesendirian bila mengingat kembali setiap detil tindakan yang saya lakukan. Sempat juga saya ragu apakah saya mesti menuliskannya ataukah tidak? Memang, selama beberapa hari sejak pertanyaan dan keinginan saya muncul, saya sempat merasa tak perlu menuliskannya. Tapi akhirnya saya menuliskannya juga, entah karena motivasi dan alasan apa? Yang pasti, dan mungkin ini yang paling bisa dijadikan alasan, bahwa saya pernah juga memiliki pengalaman menjadi seorang lelaki bodoh dan gagal dalam hidup keseharian, hingga saya menuliskan cerita ini mungkin saja sebagai sebuah usaha untuk memaafkan diri saya sendiri. Tentu saja saya tak lagi hapal semua detil pengalaman dan tindakan yang telah saya lakukan ketika berusaha untuk mendekatinya ketika itu. Semuanya saya lakukan begitu saja tanpa strategi dan pertimbangan yang matang, tak lebih tindakan kekanakkan yang tak sabaran, mengikuti begitu saja hasrat yang memerintahkan saya dengan spontan.
Ketika itu saya adalah seorang mahasiswa semester tiga di sebuah perguruan tinggi di Jakarta Selatan. Tentu seperti semua lelaki sebelum akhirnya jatuh cinta, saya mengenalnya tanpa perasaan apa pun. Ia seperti kebanyakan mahasiswi yang saya kenal pada umumnya, seorang perempuan sebagaimana perempuan lainnya yang saya pikir tak memiliki keistimewaan dan keunikan tersendiri. Salah seorang teman saya, sebutlah Z, yang pertama kali memperkenalkannya kepada saya. Ketika itu saya dingin saja memperkenalkan diri kepadanya, menyebutkan nama dan menjabat tangannya.
Seminggu setelah saya mengenalnya dalam situasi yang singkat dan tanpa sengaja itu, tanpa diduga saya pun bertemu kembali dengannya di sebuah acara diskusi para mahasiswa yang diselenggarakan di auditorium kampus. Kebetulan ketika itu saya duduk di barisan kursi yang bersebelahan dengannya, meski agak jauh. Entah alasan apa yang mendorong saya untuk sesekali mencuri pandang dan memperhatikan dirinya. Pertama-tama saya perhatikan rambutnya yang terurai lurus hingga melewati pundaknya dan terlihat rapih di punggungnya. Saya amati bentuk tubuhnya yang padat dan tampak sedikit ramping, meski ia tak terlalu tinggi alias sedang-sedang saja. Dan setelah diskusi usai, saya segera beranjak dari kursi tempat saya duduk dan berpindah ke barisan sofa yang telah disediakan panitia diskusi di sudut auditorium itu, demi mengamati dirinya saat ia berjalan keluar. Saya memperhatikan caranya berjalan, dan tentu saja gugusan rambutnya yang terurai di punggungnya yang sesekali bergerak-gerak karena hembusan angin di mendung dan teduh cuaca siang yang membuat saya tertarik. Tak lama kemudian ia telah menghilang setelah melewati pintu auditorium. Saya pun bangkit dari sofa tempat saya duduk dan berjalan menuju pintu auditorium demi mengetahui ke mana ia berjalan dan melangkah. Saya agak kaget ketika saya lihat seorang mahasiswa telah menggandeng tangan kirinya sembari saya dengar samar tawanya. “Siapakah mahasiswa yang menggandengnya itu?”, gumam saya dalam hati. “Apakah mahasiswa itu pacarnya?”, tanpa sengaja saya telah terobsesi untuk mengetahui dirinya lebih jauh.
Waktu terus berjalan di saat saya hampir melupakan obsesi saya untuk mengetahuinya lebih jauh ketika saya melihatnya untuk yang kedua kalinya di auditorium itu. Tanpa saya ketahui tiga minggu kemudian ketika saya menjadi pemateri diskusi tentang Khazanah Islam dan Peradabannya atas permintaan teman-teman mahasiswa kajian, ia hadir di ujung ruangan tempat saya berbicara menjadi pemateri. Saya baru tahu kehadiran dirinya setelah saya selesai berbicara dan menjelajahkan sepasang mata untuk memperhatikan audiens yang hadir. Saat itu ia mengenakan baju kemeja berwarna hijau. Aneh juga saat itu, ia terlihat lebih cantik dari sebelum-sebelumnya. Saya ingat ketika itu, menurut perasaan saya, saya melihatnya tersenyum satu kali ke arah saya, dengan refleks saya pun membalas senyumannya.
“Saya mesti mendekati dan menyapanya setelah tugas menjadi pembicara ini usai”, bathin saya. “Saya mesti mengajaknya ngobrol barang sebentar saja”. Saat saya tahu ia hadir di diskusi yang salah seorang pembicaranya adalah saya itu, saya berusaha tampil maksimal dan menjawab pertanyaan-pertanyaan audiens yang hadir dengan sekuat pikiran dan pengetahuan yang saya miliki, demi mendapatkan perhatian dan simpatinya. Demikianlah, pertanyaan demi pertanyaan berhasil saya jawab dan setiap orang yang bertanya saya pikir merasa puas, hingga akhirnya moderator menyatakan acara diskusi telah usai mengingat jam telah menunjukkan pukul 21.35. Betapa gembiranya perasaan saya ketika mendengar pernyataan moderator itu, karena saya ingin menyempatkan waktu untuk mendekati dan menyapanya. Saya pun segera berjalan ke arahnya dan tak mempedulikan mahasiswa-mahasiswi baru yang ingin berkenalan dan bersalaman dengan saya. “Hai, apa kabarmu?”, tanya saya ketika saya berada persis di depannya. “Yah, seperti yang kamu lihat”, balasnya, “saya baik-baik saja”. “Saya tak menyangka kamu akan hadir di acara ini”, sambung saya, “Sekedar ingin tahu saja”, jawabnya, “siapa tahu saya mendapatkan masukan dan wawasan untuk tugas makalah kuliah” “Memangnya tugas apa?”, tanya saya. “Tugas mata kuliah Metodologi Studi Islam”, ujarnya. “Ehm, mungkin saya bisa membantumu”, kata saya padanya menawarkan diri, “jika kamu mau”. “Boleh, dan terimakasih”, balasnya.
Perkenalan dan obrolan yang tak begitu lama itu membuat perasaan saya bahagia. Ternyata ia seorang perempuan yang sopan, lembut, dan memiliki suara yang terdengar menenangkan dan berwibawa. Di akhir perbincangan singkat itulah saya berhasil meminta nomor telepon cellular-nya. Sejak saat itu, saya semakin sering menghubunginya lewat telepon cellular sekedar menanyakan kabar dan mengajaknya ngobrol sebentar. Menanyakan apakah ia sudah mendapatkan buku-buku yang dibutuhkannya untuk mengerjakan paper tugas kuliahnya. Dengan terus-terang ia berkata bahwa jika saya memilki buku-buku yang dibutuhkannya dan mau meminjamkannya, tentu ia tak perlu membelinya. Dengan tanpa ragu, segera saja saya jawab bahwa saya memiliki buku-buku yang diinginkannya itu, meski saya sebenarnya tak memiliki beberapa buku yang dibutuhkannya ketika itu. “Saya akan mengantarkannya ke tempatmu besok malam”, kata saya. “Saya tunggu yah”, balasnya.
Dalam gerimis itu saya tetap memaksakan diri untuk mendatangi tempat kosnya yang lumayan jauh saat saya tempuh dengan jalan kaki. Malangnya saya, sesampainya di kosnya, ia ternyata sedang tak ada. Saya pun menunggu selama setengah jam sebelum akhirnya ia datang bersama seorang mahasiswa yang segera berpamitan ketika ia melihat dan memandang saya sejenak. Saya memang tak memiliki keinginan untuk berkenalan dengan mahasiswa yang mengantarkannya itu. Saya ingat-ingat ternyata mahasiswa itu adalah juga lelaki yang menggandeng tangannya selepas diskusi di auditorium kampus yang telah saya ceritakan sebelumnya. Saya kembali didera penasaran dan rasa ingin tahu meski tak berani saya tanyakan kepadanya, khawatir membuatnya tak nyaman. Ia mempersilahkan saya duduk di kursi depan kosnya selama ia membersihkan badan dan berganti pakaian. Jam di tangan saya telah menunjukkan pukul 20.15, yang berarti saya telah duduk dan menunggunya selama 15 menit selama ia belum keluar. Saya merasa terpesona saat ia keluar dengan rambut yang masih basah dan kuyup malam itu. Ia terlihat sangat cantik dengan senyumnya yang tipis. Apalagi saat itu ia hanya mengenakan t-shirt dan celana pendek hingga memperlihatkan terang sebagian dadanya dan kelembutan bulu-bulu kakinya yang ramping. “Gimana, saya cantik kan?”, tanyanya yang bagi saya terasa lebih mirip sedang menggoda. “Yah”, jawab saya yang sedikit malu-malu. Mendengar jawaban saya itu ia pun kembali tersenyum.
Sejak kunjungan saya yang pertama kali ke tempatnya itu, pelan-pelan saya sadar bahwa menjadi seorang mahasiswa tak sekedar membaca buku-buku yang saya sukai, tapi juga memperjuangkan apa yang diinginkan perasaan saya untuk bisa lebih dekat pada seseorang yang membuat saya bahagia dan merasakan kesenangan hidup. “Ini bukan semata masalah seberapa banyak uang yang saya miliki”, dalih saya, “tapi lebih dari itu, ini soal bagaimana saya harus jujur pada apa yang saya rasakan sebagai seorang lelaki”. Maklumlah, dalih itu menjadi alasan dan motivasi saya untuk meyakinkan diri sebagai seorang lelaki yang koceknya pas-pasan dibandingkan teman-teman saya.
Saya pun semakin sering datang ke kosnya, meski kadangkala ia tak ada. Awalnya satu dua kali saya menganggap itu hal biasa, karena menurut prasangka saya mungkin saja ia menjalani kesibukan di luar jadwal kuliah, hingga saya berusaha untuk tak memikirkannya. Saya tidak menyerah, dan kembali mendatangi kosnya di hari Minggu berikutnya, ia kembali tak ada. Perasaan saya mulai bimbang dan merasa curiga ketika ketakhadirannya di setiap hari Minggu semakin sering. “Apakah ia sengaja menghindari saya?”, tanya saya membathin. Meski saya terus berusaha menenangkan diri, sebenarnya saya mulai berpikir macam-macam dan kehilangan kepercayaan diri seorang lelaki yang sedang jatuh cinta pada seorang perempuan yang mulanya dianggap biasa.
Saya memang hanya bisa tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat semua yang saya lakukan demi mendekatinya ketika itu tanpa pernah menyerah, meski selama tiga tahun saya hanya bermain-main dengan kebodohan dan ketidakdewasaan saya yang melawan kenyataan. Mungkin juga saya terlalu percaya diri hingga lupa untuk mengetahui setiap lelaki yang juga berusaha mendekatinya. “Semuanya telah siap”, gumam saya ketika itu, “saya akan berkata terus terang kepadanya”. Sebenarnya saya hanya menipu diri untuk berusaha menjadi seorang lelaki yang sangat percaya diri demi menutupi kegugupan saya sendiri yang baru kali itu memberanikan diri untuk mengungkapkan unek-unek yang sudah terlalu lama saya pendam dalam hati. Tentu saja itu juga lebih merupakan kekonyolan seorang lelaki yang hanya mendengarkan suara-suara monolog yang membujuknya hingga menganggap remeh pertimbangan dan cara-cara yang tepat dan wajar seperti yang dilakukan kebanyakan teman-teman mahasiswa saya.
Benar saja. Ia malah menertawakan ketololan saya yang awalnya saya anggap sebagai keberanian seorang lelaki untuk mengungkapkan perasaannya kepada seorang perempuan yang diinginkannya. “Gimana yah, begini saja”, ucapnya ketika itu, “saya terlanjur menganggapmu hanya sebagai teman dan saya tak mesti menjawab semua yang kamu katakan kepada saya”, lanjutnya. Tentu saja apa yang dikatakannya itu semakin membuat saya terlihat bodoh, kikuk, dan tak lagi sanggup mengucapkan satu kata pun. “Kamu kan tahu”, sambungnya, “bahwa saya sudah punya pacar”. Saat itu saya hanya membayangkan seorang lelaki yang ia maksud adalah mahasiswa yang saya lihat menggandeng tangannya selepas diskusi itu dan yang mengantarkannya ketika saya berkunjung ke kosnya dua tahun sebelumnya. Dalam keadaan gundah itu saya pun berpamitan dan meninggalkannya yang masih duduk di kursi depan kosnya. “Ah, mungkin saja ia belum siap menjawabnya”, kata saya dalam hati berusaha menghibur diri. “Di waktu yang akan datang, saya akan mencoba mendekatinya dengan cara yang lebih baik lagi”.
Tapi tanpa saya niatkan, ternyata yang terjadi kemudian adalah sebaliknya, saya tak mendekatinya selama dua bulan lebih sejak saya menyatakan perasaan saya kepadanya. Saya malah berusaha melakukan pelarian-pelarian dengan jalan kembali mengurung diri dalam kamar saya dan membaca lagi buku-buku yang saya sukai sembari mendengarkan musik-musik jazz dan klasik yang saya gemari. Kadang bila saya bosan, keinginan untuk kembali mengunjunginya muncul begitu saja meski dengan sekuat pikiran dan perasaan selalu saya lawan. Sekali dua kali saya memang berhasil untuk menahan diri, hingga dua bulan kemudian keinginan-keinginan tersebut tak lagi sanggup saya lawan dan saya tahan. Malam itu pun saya mengenakan pakaian terbaik saya, menutup pintu dan berjalan keluar menuju kosnya. Hasilnya tidak seperti yang saya harapkan dan yang saya inginkan, ia tak ada di kosnya. “Mungkin saja ia tengah makan malam”, bathin saya menghibur diri, “karena itu ada baiknya saya menunggu dan duduk di kursi ini”, bathin saya ketika itu.
Selama satu jam lebih saya menunggu di depan kosnya, tapi ia tak juga datang. “Apakah ia sedang malam mingguan dengan pacarnya?”, tanya saya dalam hati. Saya pun bangkit dari kursi itu dan berjalan meninggalkan kosnya. Ketika itu saya memutuskan untuk mengunjungi kosan teman saya. Alangkah kagetnya saya, sesampainya di kosan teman saya yang saya tuju, ternyata ia ada di kamar teman saya. Bodohnya saya yang tak mengetuk pintu kamar kosan teman saya dan langsung membukanya, hingga dengan kedua mata saya sendiri melihatnya tengah bermesraan dengan teman saya itu. Saat itu saya hanya terkesima sebentar sebelum saya langsung berjalan dengan tergesa meninggalkan mereka berdua yang saya pikir belum sempat melihat dan mengetahui bahwa yang datang dan membuka pintu kamar barang sekilas itu adalah saya.
(Sulaiman Djaya, Radar Banten 09 Mei 2010)
Senin, 06 September 2010
Sebuah Kota, Sebuah Kenangan
“I sought a theme and sought for it in vain, I sought it daily for six weeks or so, maybe at last, being but a broken man” (W.B.Yeats).
Ternyata kenangan juga disimpan oleh cahaya lampu-lampu jalan, lampu-lampu kota yang telah silam, cahaya lampu-lampu yang telah kutinggalkan di antara pepohonan jalan dan trotoar. Dan sekarang aku hanya bisa menghadirkan kembali keberadaan mereka dalam benakku dengan jalan mengembarakan pikiranku ke tempat-tempat yang pernah kukunjungi, kulewati, dan kudiami bersama, meski sesaat saja dalam duduk dan tertunduk sembari menggerakkan tangan dan jari-jemariku pada huruf-huruf yang menempel di barisan tuts saat aku menuliskan catatan-catatan ini dalam diariku. Bersama detik-detik dan menit-menit yang tak terasa ketika itu, kami tak peduli pada cuaca dingin yang menyusup ke sela-sela benang baju kami, ke pori-pori kulit tubuh kami. Sebab kami hanya tahu bahwa kami sama-sama ingin bertemu untuk sebuah alasan yang anehnya kami rahasiakan dalam diri kami masing-masing. Sebuah pengkhianatan yang indah di saat aku tak memiliki alasan yang meyakinkan untuk marah, hingga aku hanya bisa menerimanya dan tiba-tiba tak menemukan alasan untuk membantahnya.
Saat itu kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Karena menurut kami dengan apa yang kami putuskan itu kami bisa saling mengenal kembali setelah selama satu tahun kami tak bertemu selepas pertemuan dan perkenalan pertama kami di kampusnya, di Bandung, yang begitu akrab dan tanpa beban, meski pertemuan dan perbincangan itu memang bersifat kebetulan saja di sela-sela acara diskusi yang diselenggarakan oleh kampusnya dan kampusku.
Kami pun akhirnya bisa kembali untuk saling menerka dan memahami diri kami masing-masing selama berjalan kaki bersama itu. Sebab hubungan kami sebelumnya hanya melalui pertukaran kata-kata yang kami tuliskan di lembar-lembar kertas. Kadang-kadang kami saling bertukar puisi, meski hanya sekali dua kali. Dan menurut pengakuannya sendiri, ia pun sesekali menuliskan apa yang dirasakan dan dialaminya menjadi sebuah puisi. Sebenarnya aku tak menyangka bahwa ia sangat menyukai puisi yang kutulis dan kukirim untuknya selama kami hanya bisa berhubungan lewat pertukaran kata-kata di lembar-lembar kertas.
Kami berjalan kaki pelan saja dan memang kembali mendapatkan keakraban seperti saat pertama kali kami berkenalan dan berbincang di salah satu sudut taman kampusnya. Entah atas alasan dan dorongan apa, ia dan aku bersepakat untuk berkunjung ke rumahnya dan meneruskan perbincangan kami di rumahnya hingga menjelang magrib. Bahkan aku sempat berkenalan dengan ibunya dan adik perempuannya.
Cuaca yang agak mendung dan menyembunyikan matahari di hari itu sangat mendukung apa yang kami lakukan. Apalagi ia mengenakan kemeja dan kerudung biru yang tentu saja menambah keindahan suasana kami selama kami berjalan dan berbincang menuju jalan umum untuk menaiki angkutan umum yang akan membawa kami ke Dago, di mana kami telah bersepakat untuk menghabiskan waktu kami demi memenuhi keinginanku untuk bisa kembali akrab di hari Minggu itu.
Ia memaksaku untuk turun bersamanya dari angkutan sebelum sampai di tempat yang hendak kami tuju. Ketika kutanya kenapa kita mesti turun di saat tempat yang akan kami tuju masih jauh sekitar ratusan meter lagi, ia hanya menjawab bahwa ia merasa tak nyaman berada di dalam angkutan dan lebih baik berjalan kaki lagi saja agar bisa lebih santai dan bisa berbincang-bincang seperti pada saat kami berangkat dari rumahnya.
Ia menggandeng dan menggenggam tanganku ketika kami akhirnya berjalan kaki lagi sesuai dengan keputusan dan kehendaknya. Dan memang aku sendiri merasa lebih nyaman dengan berjalan kaki lagi daripada merasakan kegerahan akibat cuaca mendung yang malah membuat tubuh kami merasa panas karena keringat orang-orang yang duduk bersama kami di dalam angkutan yang berdesakan-desakan.
Selama kami berjalan kaki untuk yang kedua kalinya itu, lampu-lampu jalan kota mulai menyala. Sepanjang trotoar dan pepohonan itu kurasa adalah pengalamanku yang paling akrab dengan seorang perempuan yang usianya lebih muda satu tahun dari usiaku, hingga kami lebih merasa sebagai sepasang bocah berlainan jenis kelamin yang asik bercanda tanpa canggung dan merasakan kebebasan yang sebenarnya.
Kejadian-kejadian yang telah berlalu delapan tahun itu tiba-tiba menemukan kembali detil-detilnya di dalam benak dan kepalaku saat aku tak menemukan tema dan isu lain untuk mengisi lembar-lembar catatan harian yang kutulis ini.
Kami sempat duduk berdua dan saling bertukar kata yang keluar dari mulut kami di trotoar itu untuk beberapa menit sembari memandangi lalulalang dan laju lalulintas sebelum kami berjalan kaki lagi. Kami menyandarkan punggung kami masing-masing di sebaris pagar taman, di bawah lampu-lampu yang menyala dengan terang. Kami melakukan itu karena menurutnya bioskop yang hendak kami datangi baru akan dibuka sekitar satu jam lagi, jadi kami tak perlu terburu-buru.
Aku masih ingat, kami tak sempat menonton sebuah film yang kami rencanakan itu. Kami malah lebih asik bercanda di sebuah kafe yang terletak agak ke sudut di pusat hiburan itu setelah kami berkeliling di antara rak-rak sebuah toko buku. Ia membeli sebuah novel Sampek Engtay, sementara aku sendiri membeli Aeneid-nya Virgilius Publius Maro terbitan Everyman Books.
Di meja yang agak menyudut ke arah dinding itu ia terus saja berbicara dengan riang, sementara aku sendiri hanya bisa mendengarkan setiap kata yang meluncur dari mulut dan kedua bibirnya yang tipis dan indah. Sebenarnya aku tak sepenuhnya hanya mendengarkan setiap kata yang diucapkannya, aku lebih terpesona dengan kelembutan sepasang matanya yang agak sendu. Seakan-akan aku tengah membaca larik-larik sebuah puisi yang memberikan kedamaian dan ketentraman bathin saat aku terus memandangi sepasangan matanya sambil berusaha menyimak apa yang dikatakannya dari satu tema ke tema lainnya saat itu.
Di sela-sela perkataannya, mungkin agar aku tak merasa diacuhkan, ia memintaku untuk membacakan sebuah puisi yang mungkin masih kuhapal, meski permintaannya kutolak dengan halus dengan mengatakan padanya bahwa tak ada satu pun puisi yang kuhapal. Tapi ia malah menggodaku untuk membuat puisi seketika itu juga untuknya. Tentu saja aku hanya bisa mengatakan bahwa puisi yang ia maksud itu telah ada ada di depanku, sebuah puisi yang tak lain sepasang matanya yang indah dan agak sendu, yang memberiku sebuah pandangan yang menenangkan dan memberiku rasa damai.
Ia hanya tersenyum dan sedikit tertawa gembira ketika mendengarkan apa yang kuucapkan itu. Aku yakin ia merasa istimewa dengan apa yang kukatakan itu. Sebab ia tampak sedikit tersipu akibat ulahku itu, hingga ia mencubit lenganku dengan lembut. Setelah itu ia kembali menyeruput minumannya melalui sedotan dan kembali bercerita tentang apa saja yang ia lakukan selama kami tak bertemu. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mendengarkannya saja, karena memang aku tak memiliki tema yang bisa kuceritakan padanya, mungkin karena aku lelah, rasa lelah yang terobati karena kebahagiaan.
Rasa-rasanya moment-moment itu merupakan sebuah peristiwa paling riang dalam hidupnya sepanjang yang kuketahui, moment paling ceria dibanding pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Hingga rasa lelahku akibat perjalanan dari Jakarta ke Bandung seakan-akan hilang begitu saja, berubah menjelma rasa senang yang ia hadirkan. Dan sepertinya ia tahu bagaimana agar aku bisa mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk mengobati keletihanku demi bertemu kembali dengannya.
Di kafe itu kami menghabiskan waktu hampir dua jam sejak kami berbincang selepas adzan magrib berkumandang. Ia pun mencegahku ketika aku hendak membayar minuman yang kami pesan, karena ia ingin mentraktirku dari uang lomba karya ilmiah yang ia menangkan. Setelah itu kami pun beranjak meninggalkan meja tempat kami bercengkerama dan bercanda selama dua jam itu, meninggalkannya dan berjalan keluar melewat pintu depan kafe. Kami tak segera pulang atau mengantarkan dirinya ke rumahnya, sementara malam itu aku berencana menginap ke kontrakan salah seorang teman kampusnya atas permintaan dirinya.
Setelah kami menghabiskan waktu bersama di kafe itulah ia memintaku untuk duduk barang sejenak di lantai depan kafe demi mendengarkan apa yang ingin ia katakan kepadaku. Tanpa rasa curiga kuiyakan dan kuturuti permintaannya. Tapi saat itu setiap perkataannya tiba-tiba menjadi pelan dan tak lagi riang seperti ketika kami berbincang di meja kafe sembari menikmati jajanan kami. Saat itulah timbul pertanyaan dan rasa penasaran dalam diriku. Dan kecurigaanku yang muncul seketika itu ternyata benar dan tak ia bantah, meski sebelum-sebelumnya aku tak menyangkanya sedikit pun. Tiba-tiba ia malah meminta maaf bahwa kegembiraan dan keceriaannya selama kami berjalan kaki bersama dan mengobrol bersama di meja kafe itu memang disengajakan untuk menghargai apa yang telah kulakukan demi bertemu dengannya, demi membuatku merasa senang dan gembira meski untuk beberapa jam sebelum akhirnya ia akan mengatakan apa yang ingin ia katakan dengan terus-terang. Aku memang hanya bisa mendengarkan setiap kata yang diucapkannya dan hanya bisa diam setelah ia sampai pada kata-kata klimaksnya bahwa undangan pernikahan dirinya dengan lelaki pilihan keluarganya telah ia kirimkan di hari ketika aku dalam perjalanan ke Bandung. Dan menurut pengakuannya, di dalam undangan pernikahan itu terdapat dua lembar surat yang ia tulis sendiri dengan jari-jemari tangannya.
Meski setelah perbincangan terakhir kami itu kami masih bisa berjalan kaki bersama kembali dan duduk bersama kembali di dalam angkutan umum, aku dan dirinya hanya bisa diam, sementara ia menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Kedua mataku hanya bisa memandangi pepohonan jalan dan lampu-lampu malam kota sebelum akhirnya aku berpisah dengannya di mana kami turun dan keluar dari angkutan umum yang kami tumpangi (Sulaiman Djaya).
Langganan:
Postingan (Atom)