Aku tidak tahu, atau lebih tepatnya tak lagi ingat, apakah masa kanak-kanakku bahagia ataukah kesepian. Aku hanya ingat bahwa dulu aku pernah akrab dengan samar kepakan, dengan grafik-grafik warna dan cahaya senjahari. Aku hanya ingat bahwa aku pernah merasa damai ketika memandangi gerak-gerak dan gelombang keheningan setiap kali aku asik membayangkan diri bergembira bersama mereka. Bersama para belalang yang adakalanya berjingkat-jingkatan di rumputan dan pematang. Serasa jiwaku kembali menjadi seorang bocah bila aku mengingat-ingat itu semua. Wajar saja bila Protagoras, si filsuf Yunani itu, pernah mengatakan bahwa keabadian dan ingatan adalah milik kanak-kanak. Kata-kata Protagoras itu tiba-tiba kupercayai begitu saja ketika aku memikirkan dan merenungkannya.
Di masa-masa itu aku tak perlu malu untuk menangis. Dan sekarang, ketika aku mulai mengenal buku-buku, di saat aku telah berusia dua puluhan tahun, menurut para penyair sufi, airmata dan kesedihan dapat membuat dua mata seseorang menjadi sendu dan bening, dan dua mata yang bening itu akan juga mencerminkan keindahan, kelembutan, dan kepekaan hati dan jiwa seseorang. Tetapi luka dan kesedihan yang berlebihan hanya akan menumbuhkan kegilaan, kekejaman, dan ketakutan. Karena itulah seseorang hanya boleh bersedih seperlunya dan mestilah bergembira dengan sikap yang wajar.
Aku hanya ingat bahwa aku pernah akrab dengan lumpur, dengan keharuman pagihari. Sungguh pun hal itu merupakan sentimen romantik, aku takkan mengingkarinya, aku takkan mengingkari sebuah kerinduan akan muasal dan masa silam, ketika kesepianku terlampau curam, seolah ngarai-ngarai malam yang senantiasa bimbang, demi untuk memahami dan menemukan apa yang mesti kulakukan. Aku, seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan ini, terlampau tergoda untuk menyelami ingatannya akan masa silam, yang tak ubahnya alunan-alunan biola yang kudengarkan di tengah malam. Ketika kesamarannya justru membuat ingatan semakin tekun untuk menjadikannya demikian jelas.
Ingatan-ingatan akan masa kanak-kanak itulah yang membuatku tegar dalam kesunyian, dalam kerapuhan. Ingatan yang mengembalikanku pada sebaris pepohonan rindang sepanjang jalan yang mirip terowongan kota-kota metropolitan yang kukenal sekarang, sepanjang aku berjalan kaki dalam sendirian di bawah naungan senjahari, sembari sesekali memandangi burung-burung kuntul yang beterbangan, dan yang sebagian dari mereka sibuk mencucukkan paruh-paruh mereka pada air dan lumpur rawa-rawa. Dengan demikian, aku pun dapat mengatakan bahwa keindahan memanglah milik ingatan, justru ketika aku telah tak ada di dalamnya, di saat aku telah berjarak dan berpisah dengannya.
Sementara itu, dan ini mungkin benar atau mungkin juga keliru, apa yang membuatku bisa juga bertahan hidup dan menjalani keseharianku yang minim fasilitas di pedesaan ini karena rahim-rahim keheningan pedesaan-lah yang mengendapkan benih-benih kegundahan dan kegelisahanku ketika hidup di kota selama bertahun-tahun. Di pedesaan inilah aku memiliki waktu yang leluasa untuk merenung dan menulis. Di pedesaan-lah aku justru bisa mendengarkan dan merenungi musik-musik keheningan yang berbisik lembut, tidak seperti di kota yang hanya selalu menghadirkan desing dan bising ke mana pun aku berada dan menginjakkan kakiku bila keluar kamar.
Di masa kanak-kanaklah kita menjalani kebebasan yang sebenarnya. Kita melakukan begitu saja apa yang ingin kita lakukan, sebagaimana kita pun tak malu menangis, sebab pada akhirnya kita akan segera bergembira setelahnya. Bukankah bila kita tidak menangis justru kita akan senantiasa bersedih dan selalu menyesal dan tak bisa memaafkan diri sendiri. Karena itulah kita tak memiliki hak untuk menahan diri dengan sekuat tenaga untuk tidak menangis ketika kita ingin menangis. Dengan menangislah akan datang kegembiraan, tangisan adalah air pemandian bagi hati dan jiwa kita, begitulah yang dipercayai oleh para penyair sufi yang kubaca. Memang selain membaca buku-buku filsafat, aku pun jadi tertarik untuk membaca sajak-sajak dan prosanya Nizami dan Abdurrahman Jami, yang sebenarnya bisa dibilang sederhana ketika berbicara tentang hidup dan penderitaan. Tapi tokh justru karena itu aku bisa langsung dengan cepat menyerap dan memahaminya.
Aku hanya ingat bahwa aku pernah akrab dengan hujan, menyambut kedatangannya, dan berlarian bersamanya di pematang-pematang sawah dalam keadaan telanjang bersama teman-temanku. Ketika itu aku tak merasa takut dengan kilat dan guntur yang menyala dan berdentum. Aku dan teman-temanku hanya tahu berlari dan mengejar para belalang yang tak lagi bisa terbang dengan tangkas dan cepat. Kami akan meminta ibu kami untuk menggorengnya bila kami telah merasa cukup dan kelelahan sebelum adzan magrib berkumandang, sebab setelah sembahyang magrib kami harus belajar mengaji al Qur’an kepada ustadz kami yang cukup keras dan galak, hingga tak pernah lupa barang semalaman pun untuk tidak memegang sebatang lidi dengan tangan kanannya. Untungnya aku bisa dengan cepat membaca setiap paragraf al Qur’an atau pun mengulangi apa yang dibacakan ustadz kami, karena selama dua tahun sebelumnya ibuku sendirilah yang mengajariku membaca al Qur’an, yang menolongku agar tidak terkena lecutan keras atau ringan dari ustadz kami, seperti yang dialami sebagian teman-temanku.
Yah, kami dididik dalam kepatuhan, dalam ajaran-ajaran keagamaan dan keimanan yang ketat, yang tak memberi kesempatan kepada kami untuk bertanya. Kami hanya tahu bahwa kami harus tepat dan tidak boleh melakukan kesalahan ketika belajar membaca al Qur’an, sebab al Qur’an bagi orang-orang di tempatku adalah segalanya, yang tidak boleh satu ayat atau paragraf pun untuk diragukan, kami hanya harus mempercayainya. Dan sekarang, ketika keberadaanku di tanah kelahiranku ini sudah berjalan satu tahun sejak aku meninggalkan Jakarta, aku tergoda untuk merenungkan dan mengingat-ingat itu semua. Aku harus menuliskannya pada halaman-halaman catatan harianku, tekadku, sekedar untuk mengisi waktu-waktu luangku di saat tak ada kesibukan lain yang bisa kulakukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar