“Pintu-pintu tahun terbuka, seperti pintu-pintu bahasa, menuju yang tak dikenal. Semalam kau bilang padaku: esok kita akan kembali menemukan isyarat-isyarat, kembali menggambar pemandangan di halaman ganda, hari dan kertas. Esok, kita akan kembali menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini” (Octavio Paz).
Bulan Juli tahun ini selalu dirundung mendung dan kabut, di mana hening seakan waktu yang bertudung kerudung. Kuarahkan dua mataku menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang kulihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahku melalui pintu yang memang sengaja kubuka setelah kunyalakan selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari. Tanpa sengaja, aku pun melihat sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum aku duduk di kursiku, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkanku pada masa kanak-kanak, ketika aku kembali membuka dan menatapi lembar-lembar di mana aku akan menulis bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang kudengarkan. Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu kuandaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.
Bulan Juli tahun ini selalu dirundung mendung dan kabut, di mana hening seakan waktu yang bertudung kerudung. Kuarahkan dua mataku menembus lembab kaca jendela demi memandangi dinding-dinding langit dan cakrawala selepas dzuhur. Rumput-rumput dan jalan-jalan basah yang kulihat seakan dunia-dunia yang tengah terbaring dalam sapuan gelombang-gelombang angin yang mengirimkan dingin pada tubuh dan wajahku melalui pintu yang memang sengaja kubuka setelah kunyalakan selampu ruangan demi mengusir kegelapan yang menutup wajah-wajah langit siang hari. Tanpa sengaja, aku pun melihat sepasukan burung-burung kuntul melintasi keheningan langit sebelum aku duduk di kursiku, burung-burung kuntul yang selalu saja mengingatkanku pada masa kanak-kanak, ketika aku kembali membuka dan menatapi lembar-lembar di mana aku akan menulis bersama alunan-alunan jazz sentimentil yang kudengarkan. Sekelompok burung kuntul yang tengah menempuh perjalanan migrasi mereka itu kuandaikan sebagai perubahan hidup dan pengulangan itu sendiri, kesementaraan dan usia yang menghitungi dirinya sendiri di saat waktu sebenarnya hanya bisa diam dan tak beranjak ke mana pun, di mana gerak dan kebisuan saling berpadu dan melengkapi satu sama lain seperti sepasang kekasih yang tengah dirundung kelesuan dan rasa cemburu yang membuat mereka kehilangan gairah dan spontanitas pertama mereka.
Tanpa kukehendaki, keindahan menjelmakan dirinya sebagai kebisuan dan hening cuaca yang membasahi pepohonan dan tiang-tiang lampu sepanjang jalan. Waktu pun lelap bersama mimpi-mimpinya di antara buih-buih dan kabut yang kupandangi sembari bersandar pada punggung kursi di mana aku duduk dalam kesendirian, terasa sendu dan agak murung, yang membuatku membayangkan diri sebagai seorang lelaki yang tengah merasakan cinta menggebu untuk yang kesekian kalinya, yang membuatku tergesa dan tak lagi bisa menahan godaan yang teramat bergelora untuk bercumbu dengan seorang perempuan yang kusukai setelah melewati sekian pertemuan dan keakraban yang menggairahkan.
Sampai hari di mana aku kembali terjaga dalam sepi ini, sudah empat hari hujan datang berturut-turut, sampai-sampai semua yang diciuminya dengan lembut ataupun tergesa seakan jadi beku dan lelap dalam pandangan kedua mataku, meski dedaunan kadang-kadang bergerak pelan di saat angin menghembus, seolah-olah ada tangan-tangan gaib para malaikat yang tengah mencandai mereka. Seperti itulah aku membayangkan bila seorang lelaki kembali jatuh cinta setelah putus asa selama beberapa tahun yang gundah dan gelisah. Ia akan memahaminya sebagai kelembutan sekaligus ketergesaan yang memberinya rasa damai. Perasaan yang tiba-tiba datang begitu saja menghampiri relung-relung perasaan.
Tetapi, walau bagaimana pun, tetap saja aku bertanya: apakah perasaan-perasaan itu dapat kunamakan sebagai kebahagiaan? Mungkin saja. Sebab apa yang bisa kulakukan pun cuma menerka-nerka pengalaman-pengalaman yang masih kuingat. Seperti ketika aku duduk dengan canggung bersamanya di sebuah sudut dekat pintu masuk di Bintaro Plaza delapan tahun yang silam itu. Lalu kemudian, haruslah juga kuakui bahwa musik-musik yang senantiasa kudengarkan setidak-tidaknya telah menyelamatkanku dari keputusasaan, meskipun mungkin saja aku malah berada dalam sebentuk kegilaan yang tak kusadari. Kubiarkan kesepianku berkelana dan mengembara bersama denting-denting piano dan alunan-alunan biola. Kujalani malam-malamku dengan membaca puisi-puisi romantis dan meditatif yang kusukai, di mana di waktu-waktu senggangku yang sepi dan sentimentil kutulis puisiku sendiri dengan sabar dan hati-hati, adakalanya tergesa dan ingin lekas kuselesaikan.
Bila sudah mengenang kembali bagaimana aku mengajaknya dengan rasa percaya diri sekaligus agak sedikit tolol ketika itu, rasa-rasanya aku sendiri tak percaya bahwa aku telah melakukannya. Spontanitas yang mungkin demi menutupi kecanggunganku sendiri karena pesona yang terpancar dari kelembutan wajahnya dan keteduhan pandangan matanya yang redup sekaligus tampak menyala bagi dua mataku. Caranya berbicara dan menatapku dengan agak nakal dan sendu membuatku menjadi seorang lelaki yang seketika menemukan apa yang mesti kucari dalam hidup: gairah kehangatan dari getaran-getaran tubuh dan jiwa. Aku pun berusaha membayangkan gugusan rambutnya yang bersembunyi dibalik kerudung hijau yang dikenakannya saat itu.
Di pojok Bintaro Plaza itu kami menghabiskan waktu bersamanya selama dua jam. Waktu yang entah kenapa terasa singkat hingga terdengar kumandang adzan dari arah yang cukup jauh. Ia sendiri yang memutuskan untuk menyudahi perbincangan dan canda kami, sebab ia merasa letih setelah menempuh perjalanan Bandung-Jakarta. Sebelum kami memutuskan pergi ke Bintaro Plaza itu, kami sempat makan bersama di sebuah rumah makan yang berdekatan dengan kampus Universitas Islam Negeri Jakarta. Di malam setelah kami berbincang bersama di sudut Bintaro Plaza itu, aku mengantarkannya ke kosan temanku, seorang mahasiswi yang kebetulan satu jurusan. Mahasiswi itu adalah kakak tingkatku yang juga telah berteman dengan dirinya. Tetapi waktu jualah yang pada akhirnya mengambil alih kenangan dan ingatan tersebut. Jika pun aku menuliskannya, tentu tak lebih sebuah upaya untuk melakukan pengobatan pada diri sendiri. Sebab yang kini kucintai tak lain kenangan dan ingatan itu sendiri. Kenangan dan ingatan yang juga telah mengajarkanku untuk menulis dan melupakan, atau lebih tepatnya mengajarkanku untuk memaafkan masa silam.
Aneh juga rasanya, ingatan-ingatanku selalu tersulut oleh suara-suara dari puisi-puisi yang kubaca, ketika beberapa puisi yang kubaca justru mengingatkanku pada pengalaman dan kenanganku sendiri, meski tentu saja puisi-puisi tersebut tak mesti persis menyuarakan sesuatu yang sama dengan apa yang kualami dan yang kuingat. Semua itu terjadi begitu saja, tanpa kesengajaan, ketika kubuka lembar-lembar koleksi buku-buku puisi-puisi dari ragam penyair yang dipublikasikan oleh penerbit-penerbit semisal Penguin Books, Everyman Books, dan yang lainnya. Seperti itulah, kali ini aku menulis setelah kubaca puisi-puisi yang ditulis oleh Octavio Paz, di mana bait-bait dan suara-suaranya mampu menyulut erudisi dan ingatanku sendiri. “Seperti sebuah sungai yang tenang, siang dan malam saling membelai, seakan lelaki dan perempuan dimabuk cinta, sementara musim-musim dan seluruh manusia mengalir di bawah lengkung-lengkung abad, menyerupai sebuah sungai tanpa akhir”. Aku suka sekali dengan suara-suara yang dibisikkan oleh bait-bait puisinya Octavio Paz tersebut ketika menggambarkan hidup, ingatan, waktu, dan mungkin kematian yang digambarkan seperti sebuah ketenangan sungai yang sebenarnya tak pernah mampu kita terka dan kita selami dengan persis dan tepat dalam hening dan kebisuannya.
Ada kesenangan tersendiri ketika aku kembali mereka-reka pengalaman persahabatanku dengannya. Pengalaman-pengalaman yang memberiku kebahagiaan seorang mahasiswa yang kembali memiliki hasrat pada seorang perempuan setelah masa-masa sekolah menengah. Di hari itu ia menelponku perihal kedatangannya ke Jakarta. Dan keesokan harinya kedatangannya di Jakarta sesuai dengan apa yang dikatakannya, ia datang ke Jakarta selepas dzuhur. Aku menjemputnya di terminal kereta Gambir. Hanya beberapa menit saja aku langsung melihatnya berjalan ke arahku setelah turun dari kereta eksekutif itu. Ia langsung tersenyum lirih ketika berada persis di hadapanku, dan aku segera saja mengajaknya berjalan ke sebuah warung serba ada di mana kami membeli minuman sebelum kami menaiki bus yang akan membawa kami ke Ciputat.
Semenjak pertemuanku dengannya itulah aku mulai menyukai novel-novel sentimentil dan puisi-puisi romantis. Bahkan sejak saat itu aku mulai serius belajar menulis puisi-puisi cintaku sendiri setelah membaca puisi-puisi yang kusukai yang ditulis oleh penulis-penulis Indonesia atau para penulis asing yang telah diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Tapi sekarang, aku mulai bisa menyukai perempuan lain dengan serius, sejauh menyangkut apa yang kurasakan saat ini. Aku bisa belajar dari kenangan untuk bisa menjadikannya sebagai pembimbing agar aku bisa juga bersikap rasional dan realistis dengan apa yang akan kualami dan apa yang akan kurasakan.
Tak pernah terpikir olehku bahwa pengalaman-pengalaman itulah yang ternyata mengajarkanku untuk menulis puisi dengan setia di kemudian hari, bahkan hingga sampai saat ini. Dengan kata lain, aku mesti menjadi pecundang sebelum aku mampu mencintai dan menyukai perempuan lain selain dirinya. Aku diingatkan oleh pengalaman-pengalaman itu bahwa aku hanya berhak untuk menjalani dan mengalami apa yang kini kulakukan dan kuniatkan dalam hidup, tanpa harus memutuskan akan ke mana langkah-langkahku berhenti atau menghendaki dirinya berakhir tanpa mesti menyesalinya. Dengan begitupun, aku bisa menghayati setiap novel yang kubaca. Madame Bovary-nya Gustave Flaubert, Love in the Time of Cholera-nya Gabriel Garcia Marquez, Cintaku di Kampus Biru-nya Ashadi Siregar, Crime and Punishment-nya Dostoyevsky, Anna Karenina-nya Leo Tolstoy, Snow-nya Orhan Pamuk, Samarkand-nya Amin Maalouf, Burung-burung Manyar-nya Mangunwijaya, Bumi Manusia-nya Pramudya Ananta Toer, dan novel-novel lainnya yang terlalu panjang bila harus kuabsen satu persatu. Aku membaca novel-novel itu seakan-akan untuk memberikan sejumlah perbandingan bagi pengalaman-pengalamanku sendiri, kenangan-kenangan dan ingatan-ingatanku di waktu-waktu aku duduk di dalam kamar bertemankan komposisi-komposisi musik.
Meski pengalaman-pengalaman yang sudah berlalu delapan tahun silam itu seolah baru terjadi berbulan-bulan yang lalu, aku berhasil juga memperlakukannya hanya sebagai hiburan bagi kesepian dan kesendirianku sendiri. Tak lebih dari itu. Sebab aku harus melanjutkan hidupku dengan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa yang baru, yang mungkin lebih bergairah dari sebelum-sebelumnya. Persis seperti bait-bait puisinya Octavio Paz yang kusukai, yang kubaca sebelum menulis catatan harianku untuk yang kesekian kalinya: “Esok, kita akan kembali menemukan, sekali lagi, kenyataan dunia ini” (Sulaiman Djaya 2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar