Senin, 06 September 2010

Sebuah Kota, Sebuah Kenangan

“I sought a theme and sought for it in vain, I sought it daily for six weeks or so, maybe at last, being but a broken man” (W.B.Yeats).
Ternyata kenangan juga disimpan oleh cahaya lampu-lampu jalan, lampu-lampu kota yang telah silam, cahaya lampu-lampu yang telah kutinggalkan di antara pepohonan jalan dan trotoar. Dan sekarang aku hanya bisa menghadirkan kembali keberadaan mereka dalam benakku dengan jalan mengembarakan pikiranku ke tempat-tempat yang pernah kukunjungi, kulewati, dan kudiami bersama, meski sesaat saja dalam duduk dan tertunduk sembari menggerakkan tangan dan jari-jemariku pada huruf-huruf yang menempel di barisan tuts saat aku menuliskan catatan-catatan ini dalam diariku. Bersama detik-detik dan menit-menit yang tak terasa ketika itu, kami tak peduli pada cuaca dingin yang menyusup ke sela-sela benang baju kami, ke pori-pori kulit tubuh kami. Sebab kami hanya tahu bahwa kami sama-sama ingin bertemu untuk sebuah alasan yang anehnya kami rahasiakan dalam diri kami masing-masing. Sebuah pengkhianatan yang indah di saat aku tak memiliki alasan yang meyakinkan untuk marah, hingga aku hanya bisa menerimanya dan tiba-tiba tak menemukan alasan untuk membantahnya.
Saat itu kami memutuskan untuk berjalan kaki saja. Karena menurut kami dengan apa yang kami putuskan itu kami bisa saling mengenal kembali setelah selama satu tahun kami tak bertemu selepas pertemuan dan perkenalan pertama kami di kampusnya, di Bandung, yang begitu akrab dan tanpa beban, meski pertemuan dan perbincangan itu memang bersifat kebetulan saja di sela-sela acara diskusi yang diselenggarakan oleh kampusnya dan kampusku.
Kami pun akhirnya bisa kembali untuk saling menerka dan memahami diri kami masing-masing selama berjalan kaki bersama itu. Sebab hubungan kami sebelumnya hanya melalui pertukaran kata-kata yang kami tuliskan di lembar-lembar kertas. Kadang-kadang kami saling bertukar puisi, meski hanya sekali dua kali. Dan menurut pengakuannya sendiri, ia pun sesekali menuliskan apa yang dirasakan dan dialaminya menjadi sebuah puisi. Sebenarnya aku tak menyangka bahwa ia sangat menyukai puisi yang kutulis dan kukirim untuknya selama kami hanya bisa berhubungan lewat pertukaran kata-kata di lembar-lembar kertas.
Kami berjalan kaki pelan saja dan memang kembali mendapatkan keakraban seperti saat pertama kali kami berkenalan dan berbincang di salah satu sudut taman kampusnya. Entah atas alasan dan dorongan apa, ia dan aku bersepakat untuk berkunjung ke rumahnya dan meneruskan perbincangan kami di rumahnya hingga menjelang magrib. Bahkan aku sempat berkenalan dengan ibunya dan adik perempuannya.
Cuaca yang agak mendung dan menyembunyikan matahari di hari itu sangat mendukung apa yang kami lakukan. Apalagi ia mengenakan kemeja dan kerudung biru yang tentu saja menambah keindahan suasana kami selama kami berjalan dan berbincang menuju jalan umum untuk menaiki angkutan umum yang akan membawa kami ke Dago, di mana kami telah bersepakat untuk menghabiskan waktu kami demi memenuhi keinginanku untuk bisa kembali akrab di hari Minggu itu.
Ia memaksaku untuk turun bersamanya dari angkutan sebelum sampai di tempat yang hendak kami tuju. Ketika kutanya kenapa kita mesti turun di saat tempat yang akan kami tuju masih jauh sekitar ratusan meter lagi, ia hanya menjawab bahwa ia merasa tak nyaman berada di dalam angkutan dan lebih baik berjalan kaki lagi saja agar bisa lebih santai dan bisa berbincang-bincang seperti pada saat kami berangkat dari rumahnya.
Ia menggandeng dan menggenggam tanganku ketika kami akhirnya berjalan kaki lagi sesuai dengan keputusan dan kehendaknya. Dan memang aku sendiri merasa lebih nyaman dengan berjalan kaki lagi daripada merasakan kegerahan akibat cuaca mendung yang malah membuat tubuh kami merasa panas karena keringat orang-orang yang duduk bersama kami di dalam angkutan yang berdesakan-desakan.
Selama kami berjalan kaki untuk yang kedua kalinya itu, lampu-lampu jalan kota mulai menyala. Sepanjang trotoar dan pepohonan itu kurasa adalah pengalamanku yang paling akrab dengan seorang perempuan yang usianya lebih muda satu tahun dari usiaku, hingga kami lebih merasa sebagai sepasang bocah berlainan jenis kelamin yang asik bercanda tanpa canggung dan merasakan kebebasan yang sebenarnya.
Kejadian-kejadian yang telah berlalu delapan tahun itu tiba-tiba menemukan kembali detil-detilnya di dalam benak dan kepalaku saat aku tak menemukan tema dan isu lain untuk mengisi lembar-lembar catatan harian yang kutulis ini.
Kami sempat duduk berdua dan saling bertukar kata yang keluar dari mulut kami di trotoar itu untuk beberapa menit sembari memandangi lalulalang dan laju lalulintas sebelum kami berjalan kaki lagi. Kami menyandarkan punggung kami masing-masing di sebaris pagar taman, di bawah lampu-lampu yang menyala dengan terang. Kami melakukan itu karena menurutnya bioskop yang hendak kami datangi baru akan dibuka sekitar satu jam lagi, jadi kami tak perlu terburu-buru.
Aku masih ingat, kami tak sempat menonton sebuah film yang kami rencanakan itu. Kami malah lebih asik bercanda di sebuah kafe yang terletak agak ke sudut di pusat hiburan itu setelah kami berkeliling di antara rak-rak sebuah toko buku. Ia membeli sebuah novel Sampek Engtay, sementara aku sendiri membeli Aeneid-nya Virgilius Publius Maro terbitan Everyman Books.
Di meja yang agak menyudut ke arah dinding itu ia terus saja berbicara dengan riang, sementara aku sendiri hanya bisa mendengarkan setiap kata yang meluncur dari mulut dan kedua bibirnya yang tipis dan indah. Sebenarnya aku tak sepenuhnya hanya mendengarkan setiap kata yang diucapkannya, aku lebih terpesona dengan kelembutan sepasang matanya yang agak sendu. Seakan-akan aku tengah membaca larik-larik sebuah puisi yang memberikan kedamaian dan ketentraman bathin saat aku terus memandangi sepasangan matanya sambil berusaha menyimak apa yang dikatakannya dari satu tema ke tema lainnya saat itu.
Di sela-sela perkataannya, mungkin agar aku tak merasa diacuhkan, ia memintaku untuk membacakan sebuah puisi yang mungkin masih kuhapal, meski permintaannya kutolak dengan halus dengan mengatakan padanya bahwa tak ada satu pun puisi yang kuhapal. Tapi ia malah menggodaku untuk membuat puisi seketika itu juga untuknya. Tentu saja aku hanya bisa mengatakan bahwa puisi yang ia maksud itu telah ada ada di depanku, sebuah puisi yang tak lain sepasang matanya yang indah dan agak sendu, yang memberiku sebuah pandangan yang menenangkan dan memberiku rasa damai.
Ia hanya tersenyum dan sedikit tertawa gembira ketika mendengarkan apa yang kuucapkan itu. Aku yakin ia merasa istimewa dengan apa yang kukatakan itu. Sebab ia tampak sedikit tersipu akibat ulahku itu, hingga ia mencubit lenganku dengan lembut. Setelah itu ia kembali menyeruput minumannya melalui sedotan dan kembali bercerita tentang apa saja yang ia lakukan selama kami tak bertemu. Dan lagi-lagi aku hanya bisa mendengarkannya saja, karena memang aku tak memiliki tema yang bisa kuceritakan padanya, mungkin karena aku lelah, rasa lelah yang terobati karena kebahagiaan.
Rasa-rasanya moment-moment itu merupakan sebuah peristiwa paling riang dalam hidupnya sepanjang yang kuketahui, moment paling ceria dibanding pertemuan-pertemuan kami sebelumnya. Hingga rasa lelahku akibat perjalanan dari Jakarta ke Bandung seakan-akan hilang begitu saja, berubah menjelma rasa senang yang ia hadirkan. Dan sepertinya ia tahu bagaimana agar aku bisa mendapatkan sesuatu yang setimpal untuk mengobati keletihanku demi bertemu kembali dengannya.
Di kafe itu kami menghabiskan waktu hampir dua jam sejak kami berbincang selepas adzan magrib berkumandang. Ia pun mencegahku ketika aku hendak membayar minuman yang kami pesan, karena ia ingin mentraktirku dari uang lomba karya ilmiah yang ia menangkan. Setelah itu kami pun beranjak meninggalkan meja tempat kami bercengkerama dan bercanda selama dua jam itu, meninggalkannya dan berjalan keluar melewat pintu depan kafe. Kami tak segera pulang atau mengantarkan dirinya ke rumahnya, sementara malam itu aku berencana menginap ke kontrakan salah seorang teman kampusnya atas permintaan dirinya.
Setelah kami menghabiskan waktu bersama di kafe itulah ia memintaku untuk duduk barang sejenak di lantai depan kafe demi mendengarkan apa yang ingin ia katakan kepadaku. Tanpa rasa curiga kuiyakan dan kuturuti permintaannya. Tapi saat itu setiap perkataannya tiba-tiba menjadi pelan dan tak lagi riang seperti ketika kami berbincang di meja kafe sembari menikmati jajanan kami. Saat itulah timbul pertanyaan dan rasa penasaran dalam diriku. Dan kecurigaanku yang muncul seketika itu ternyata benar dan tak ia bantah, meski sebelum-sebelumnya aku tak menyangkanya sedikit pun. Tiba-tiba ia malah meminta maaf bahwa kegembiraan dan keceriaannya selama kami berjalan kaki bersama dan mengobrol bersama di meja kafe itu memang disengajakan untuk menghargai apa yang telah kulakukan demi bertemu dengannya, demi membuatku merasa senang dan gembira meski untuk beberapa jam sebelum akhirnya ia akan mengatakan apa yang ingin ia katakan dengan terus-terang. Aku memang hanya bisa mendengarkan setiap kata yang diucapkannya dan hanya bisa diam setelah ia sampai pada kata-kata klimaksnya bahwa undangan pernikahan dirinya dengan lelaki pilihan keluarganya telah ia kirimkan di hari ketika aku dalam perjalanan ke Bandung. Dan menurut pengakuannya, di dalam undangan pernikahan itu terdapat dua lembar surat yang ia tulis sendiri dengan jari-jemari tangannya.
Meski setelah perbincangan terakhir kami itu kami masih bisa berjalan kaki bersama kembali dan duduk bersama kembali di dalam angkutan umum, aku dan dirinya hanya bisa diam, sementara ia menyandarkan kepalanya di pundak kiriku. Kedua mataku hanya bisa memandangi pepohonan jalan dan lampu-lampu malam kota sebelum akhirnya aku berpisah dengannya di mana kami turun dan keluar dari angkutan umum yang kami tumpangi (Sulaiman Djaya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar