Aku percaya setiap orang memiliki hasrat untuk mencari atau pun berusaha untuk menemukan apa saja yang dapat membuatnya merasa utuh dan berarti, entah apa pun itu, sesuatu yang mungkin membuatnya merasa lengkap, katakanlah sebagai contohnya menjadi seorang suami bila ia seorang lelaki atau pun menjadi seorang istri bila ia perempuan, yang dapat menemukan sendiri arti kebahagiaannya, yang mampu mengatasi kekeliruan atau pun ketaksepahaman yang acapkali berujung pada pertengkaran, atau katakanlah menjadi seorang jutawan yang dapat menggunakan waktu seenaknya untuk membaca buku-buku yang disukainya atau melakukan apa saja yang diinginkannya. Artinya, yang tengah ingin kubicarakan ini adalah hasrat setiap orang untuk menjadi apa pun yang dapat membuatnya merasakan hidup yang sesungguhnya dan menjadi seseorang, menjadi seseorang yang mampu mendapatkan kebahagiaannya sendiri dengan segala apa yang dilakukan dan dijalaninya.
Tetapi apakah aku telah mendapatkan dan menemukan apa yang kubicarakan itu? Sejujurnya aku sendiri tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa aku selalu mencoba dan berusaha untuk mendapatkan dan menemukannya, terlebih sebagai seorang yang senantiasa dirundung gelisah dalam kesendirianku. Begitulah aku, seorang lelaki yang bernama Ahmad Hasan, seorang lelaki yang tengah dan terus mencoba untuk menjadi penulis di saat tak memiliki kesibukan lain. Meskipun demikian, ada satu hal yang setidak-tidaknya dapat meredakan kegelisahanku untuk waktu-waktu sementara, seperti ketika aku memandangi pohon-pohon yang kutanam terlihat segar dan rindang. Itu karena semua aku berpikir dan merenunginya, bahwa kesegaran dan keindahan pohon-pohon yang telah kutanam itu haruslah kuumpamakan sebagai keriangan dan kegembiraan hidup itu sendiri dalam kondisi apa pun, apa pun yang kini tengah kujalani dan kualami.
Mungkin saja itu semua pun lebih merupakan upaya-upayaku untuk menciptakan penghiburan dan harapan. Dan kalau pun itu benar adanya, aku takkan mengingkarinya, karena sebenarnya mestilah kuakui, keseharianku di pedesaan ini merupakan pelarian diri, meskipun di sisi lain haruslah kuakui juga, keseharianku di pedesaan ini telah berjasa bagi kehidupan bathinku karena ketenangan dan kesunyiannya, belum lagi malam-malamnya yang telah memberiku keheningan dan kedamaian di saat-saat aku menulis atau pun membaca.
Memang hari tampak mendung dan terasa lembab saat aku menuliskan memoarku ini, tapi justru hal itulah yang membuatku merasa nyaman, merasakan ketenangan setelah di waktu malam kegelisahan dan kegundahan menguasaiku selama berjam-jam. Bulan Juni kali ini terasa berbeda dengan Juni-Juni sebelumnya. Dalam perasaanku bulan Juni kali ini lebih mirip bulan Januari dan Februari, November dan Desember, terasa hening dan senyap. Dan sebelum aku terbangun di pagi ini, selama semalaman aku hanya terdiam di kursiku sembari mendengarkan alunan-alunan violin dan denting-denting piano dari beberapa komposisi yang kusuka. Hal itu kulakukan setiap kali aku ingin mendapatkan kiasan dan suasana untuk puisi yang akan kutulis di waktu-waktu malam atau pun di pagihari dan sorehari.
Demikianlah aku menjelmakan kesunyianku sendiri dalam komposisi kata-kata dan paragraf, menyalinnya dan meminjamnya untuk sementara, sebelum aku menemukan suasana-suasana yang lainnya, sebelum aku menemukan alibi-alibi, kebohongan-kebohongan yang berbeda, yang mungkin juga sama saja, melakukan pengulangan-pengulangan, sebab betapa rentan dan rapuh seorang lelaki yang kadang merasa diri sabar dan tegar menjalani kesepian dan kesendirian. Yah, aku tengah mengenakan topeng ketika aku terus menulis, terus-menerus mengenakan topeng demi memenuhi apa yang tak bisa kudapatkan dalam kehidupan yang sebenarnya, dalam keseharian yang biasa seperti yang dijalani dan dilakukan kebanyakan orang yang terbebas dari pretensi dan tendensi estetis. Dengan ini aku hanya ingin mengatakan bahwa hasrat pada keindahan adalah upaya untuk mengobati diri sendiri. Sejumlah ikhtiar untuk mengatasi atau pun mengalihkan kesepian.
Juga keputusanku untuk menuliskan memoar ini sekalipun akan dicurigai sebagai tindakan narsistik atau pun solipsistik tetaplah akan kupahami sebagai bentuk lain upayaku untuk bercerita, meskipun aku takkan pernah bisa menghindari tendensi otobiografisnya. Apa yang akan kusebut sebagai kerja penulisan historiografi angan-angan.
(Sulaiman Djaya)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar